Jagad negeri ini kembali riuh ketika munculnya postingan anak SD
bersama pacarnya diranjang, belum selesai sesak kita ketika dunia maya kita
dipenuhi propaganda LGBT yang menyasar anak – anak. Permasalahan ini bukan menjadi
hal sepele, ibarat gunung es, hal ini semakin menegasikan, seberapa kuat negeri
ini bertahan dari bombardir “bom moral”, dimana peran keluarga sebagai garda
penjaga moral? perubahan gaya hidup dan prilaku masyarakat saat ini
berkontribusi dalam merubah arti keluarga itu sendiri, beberapa keluarga
menganggap ketercukupan secara materi sudah menyelesaikan permasalahan. Keterabaian
kita pada peran keluarga dalam membangun masyarakat bisa jadi sebagai pemicu yang
berdampak pada maraknya kasus kekerasan terhadap anak, kenakalan remaja,
narkoba, radikalisme, hingga lebih jauh memudarnya semangat nasionalisme.
Merujuk
dari asal katanya, Keluarga diserap dari bahasa sansekerta merupakan dua kata
yaitu kula dan warga yang bersatu menjadi “kulawarga”
yang berarti “anggota” atau “kelompok kerabat”. Lebih luas keluarga diartikan sebagai
kesatuan sosial terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis
kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Sejalan dengan
perspektif tersebut Rog & Baber menambahkan fungsi keluarga meliputi fungsi
biologis, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial,
fungsi rekreasi, dan memberi rasa aman. Idealnya semua fungsi dapat terpenuhi
dan berjalan.
Berdasar
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2015 Indeks Ketahanan
Keluarga di Indonesia masih rendah yakni 3,8 dari interval penilain 1 (satu)
sampai dengan 5 (lima). Ketahanan
keluarga ini menjadi sangat penting, mengingat sejatinya keluarga merupakan
entitas unit terkecil masyarakat sehingga masalaha keluarga akan berdampak pada
kehidupan masyarakat jika kita kaitkan lebih luas akan berdampak pada kehidupan
bernegara. Langkah penguatan keluarga menjadi sangat penting saat ini,
membentuk Keluarga “Layak” Anak harus didorong sehingga kerentanan keluarga ini
dapat terminimalisir. Layak disini bukan bersifat tidak hanya bertumpu pada
kesejahteraan ekonomi tetapi lebih mendalam dalam artian pembangunan kualitas
hidup dengan peningkatan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan psikologi -
spiritual. Selaykanya saat ini titik berat pembangunan dapat ditambahkan tidak
hanya berfokus pada individu dan masyarakat, keluarga menjadi fokus untuk
membangun ketahanan nasional secara luas.
Sejalan
dengan hal diatas, Thomas Licona menjelaskan kemunduran bangsa merupakan akibat rendahnya kualitas keluarga/masyarakat,
yaitu 1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) Penggunaan bahasa dan
kata-kata yang memburuk; 3) Pengaruh peer
group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) Meningkatnya perilaku yang
merusak diri seperti narkoba, sex bebas, dan alkohol; 5) Kaburnya pedoman moral
baik dan buruk; 6) Penurunan etos kerja; 7) Rendahnya rasa hormat; kepada
orangtua dan guru; 8) Rendahnya rasa tanggung jawab baik sebagai individu dan
warga negara; 9) Ketidakjujuran yang telah membudaya; dan 10) Adanya rasa
saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Penguatan
terhadap fungsi Sosial Budaya keluarga harus dikembalikan pada sifat dan
fungsinya. Keluarga dijadikan sebagai wahana membangun nilai – nilai budaya
nasional yang luhur dan bermartabat. Penanaman nilai gotong royong melalui pembagian
peran dalam keluarga, mengenalkan dan menanamkan nilai sopan santun dalam
hubungan sesama anggota keluarga (hormat pada yang tua, sayang pada yang muda),
pembiasaan hidup rukun dalam keluarga dengan mengupayakan penyelesaian
persoalan di antara anggota keluarga secara damai tanpa perselisihan,
menanamkan dan menjadikan kepedulian, kebersamaan, serta toleransi dalam aktifitas sehari-hari dalam
keluarga, serta mengenalkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini kepada anak-anak
kita. Keteladanan menjadi faktor penentu
keberhasilan.
Pembiasaan
dan konsistensi dalam penanaman nilai moral menjadi kunci keberhasilan sehingga
anggota keluarga dapat berusaha membantu anggota keluarga yang lain, keluarga
yang menghadirkan atmosfir positif, saling melindungi, menjaga martabat dan mampu
merayakan kehidupan bersama sehingga kejadian mengawali tulisan ini tidak
terjadi lagi karena sejatinya membangun keluarga adalah membangun bangsa. [Rendra Agusta]
* Versi cetak dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar