Selasa, 19 April 2016

Keluarga "Layak" Anak



Jagad negeri ini kembali riuh ketika munculnya postingan anak SD bersama pacarnya diranjang, belum selesai sesak kita ketika dunia maya kita dipenuhi propaganda LGBT yang menyasar anak – anak. Permasalahan ini bukan menjadi hal sepele, ibarat gunung es, hal ini semakin menegasikan, seberapa kuat negeri ini bertahan dari bombardir “bom moral”, dimana peran keluarga sebagai garda penjaga moral? perubahan gaya hidup dan prilaku masyarakat saat ini berkontribusi dalam merubah arti keluarga itu sendiri, beberapa keluarga menganggap ketercukupan secara materi sudah menyelesaikan permasalahan. Keterabaian kita pada peran keluarga dalam membangun masyarakat bisa jadi sebagai pemicu yang berdampak pada maraknya kasus kekerasan terhadap anak, kenakalan remaja, narkoba, radikalisme, hingga lebih jauh memudarnya semangat nasionalisme.

Merujuk dari asal katanya, Keluarga diserap dari bahasa sansekerta merupakan dua kata yaitu kula dan warga yang bersatu menjadi “kulawarga” yang berarti “anggota” atau “kelompok kerabat”. Lebih luas keluarga diartikan sebagai kesatuan sosial terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Sejalan dengan perspektif tersebut Rog & Baber menambahkan fungsi keluarga meliputi fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial, fungsi rekreasi, dan memberi rasa aman. Idealnya semua fungsi dapat terpenuhi dan berjalan.

Berdasar data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2015 Indeks Ketahanan Keluarga di Indonesia masih rendah yakni 3,8 dari interval penilain 1 (satu) sampai dengan 5 (lima).  Ketahanan keluarga ini menjadi sangat penting, mengingat sejatinya keluarga merupakan entitas unit terkecil masyarakat sehingga masalaha keluarga akan berdampak pada kehidupan masyarakat jika kita kaitkan lebih luas akan berdampak pada kehidupan bernegara. Langkah penguatan keluarga menjadi sangat penting saat ini, membentuk Keluarga “Layak” Anak harus didorong sehingga kerentanan keluarga ini dapat terminimalisir. Layak disini bukan bersifat tidak hanya bertumpu pada kesejahteraan ekonomi tetapi lebih mendalam dalam artian pembangunan kualitas hidup dengan peningkatan kesejahteraan sosial dan kesejahteraan psikologi - spiritual. Selaykanya saat ini titik berat pembangunan dapat ditambahkan tidak hanya berfokus pada individu dan masyarakat, keluarga menjadi fokus untuk membangun ketahanan nasional secara luas.

Sejalan dengan hal diatas, Thomas Licona menjelaskan kemunduran bangsa merupakan  akibat rendahnya kualitas keluarga/masyarakat, yaitu 1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; 3) Pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) Meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, sex bebas, dan alkohol; 5) Kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) Penurunan etos kerja; 7) Rendahnya rasa hormat; kepada orangtua dan guru; 8) Rendahnya rasa tanggung jawab baik sebagai individu dan warga negara; 9) Ketidakjujuran yang telah membudaya; dan 10) Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Penguatan terhadap fungsi Sosial Budaya keluarga harus dikembalikan pada sifat dan fungsinya. Keluarga dijadikan sebagai wahana membangun nilai – nilai budaya nasional yang luhur dan bermartabat. Penanaman nilai gotong royong melalui pembagian peran dalam keluarga, mengenalkan dan menanamkan nilai sopan santun dalam hubungan sesama anggota keluarga (hormat pada yang tua, sayang pada yang muda), pembiasaan hidup rukun dalam keluarga dengan mengupayakan penyelesaian persoalan di antara anggota keluarga secara damai tanpa perselisihan, menanamkan dan menjadikan kepedulian, kebersamaan, serta  toleransi dalam aktifitas sehari-hari dalam keluarga, serta mengenalkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini kepada anak-anak kita.  Keteladanan menjadi faktor penentu keberhasilan.

Pembiasaan dan konsistensi dalam penanaman nilai moral menjadi kunci keberhasilan sehingga anggota keluarga dapat berusaha membantu anggota keluarga yang lain, keluarga yang menghadirkan atmosfir positif, saling melindungi, menjaga martabat dan mampu merayakan kehidupan bersama sehingga kejadian mengawali tulisan ini tidak terjadi lagi karena sejatinya membangun keluarga adalah membangun bangsa. [Rendra Agusta]

* Versi cetak dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar