Kamis, 28 April 2016

Perempuan dan Ancaman "Revenge Pornography"



Beberapa waktu lalu, jagat media di hebohkan oleh pengakuan  Ina “si nononk” yang mengklarifikasi foto mesra yang diunggah di akun facebooknya adalah perbuatan pembajakan yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Cerita serupa juga terjadi di magelang, sakit hati diputus oleh pacarnya secara sepihak, seorang pemuda nekat menggunggah foto selfie bugil mantan pacarnya tersebut melalui akun facebook mantan pacarnya. Prilaku balas dendam dengan cara mengunggah foto pasangan tanpa seizin pasangan ini dikenal dengan istilah “revenge pornography”.

Bak gunung es, dua cerita diatas adalah puncak yang tampak dari kasus yang ada, kemungkinan kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak lagi. Tidak hanya di Indonesia, prilaku “Revenge Pornography” ini banyak menghantui beberapa negara. Seperti halnya di jepang, berdasarkan data yang dikeluarkan dari survei Ai Research pada tahun 2015 menjelaskan dari 200 responden yang berusia antara 20-30 tahun, ternyata 16,5 persen menyatakan bahwa di antaranya pernah difilmkan saat telanjang dan bermain seks dengan kekasihnya. Lebih mendalam lagi jumlah yang pernah punya pengalaman difilmkan tersebut, 51,5 persen memberikan penjelasan mereka tidak dapat berbuat apa – apa karena kekasih sendiri dengan perasaan. Percaya untuk mereka berdua saja film tersebut, rata – rata korbannya adalah perempuan.

Problematika perempuan saat ini bukan dengan keterpasungan sosial ataupun budaya seperti gelombang awal perjuangan feminisme yang menuntut kesetaraan dalam ruang publik dengan laki – laki, dimana dulu masih kuatnya “ketergantungan” perempuan terhadap laki – laki secara ekonomi. Permasalahan perempuan tidak lagi berkutat pada kehadiran dalam dunia politik, ekonomi atau hukum tetapi permasalahan perempuan saat ini adalah Perempuan dengan dirinya sendiri.

Sejalan dengan hal tersebut, Hannah Arendt menjelaskan adanya implikasi terhadap kebebasan yang hadir di masyarakat. Manusia dituntut untuk melakukan pilihan. Pilihan yang dicerminkan dari tindakannya. Sebagai manusia yang bebas ada kekuatan diri yang kuat untuk menolak hal yang dapat mencelakakan dirinya. Lebih jauh, Stanley Milgrain menjelaskan Banalitas kejahatan terjadi karena kegagalan individu 'berdialog' dengan dirinya sendiri. Pada fase ini, seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis.

Kehadiran internet menjadikan ruang baru dari matra ruang publik yang dikenal, jika menggunakan perspektif Gibson (1998), menjelaskan bahwa ruang maya adalah bentuk “kerangkeng tak berhingga”. Didalam kerangkeng tersebut ada pengembaraan dalam ruang yang tak berujung. Saat ini berdasarkan data PUSKAKOM UI dan APJII, menjelaskan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia, lebih dari setengah pengguna internet di Indonesia berjenis kelamin perempuan, saat ini jumlah pengguna internet mencapai 88,1 juta. Jika dilihat dari sisi usia, pengguna internet terbanyak berusia antara 18 hingga 25 tahun. Hasil survey ini mengatakan ada 49% atau hampir setengahnya. Sedangkan jika dilihat dari jenjang pendidikan, maka pendidikan SMA sederajat meraih angka tertinggi dengan 64,7% (http://puskakomui.or.id.2015). Dari data ini keterlibatan perempuan untuk mengetahui informasi dan memanfaatkan informasi sangat tinggi.

Ketegasan perempuan dalam mengambil sikap menjadi tameng dalam kasus “revenge pornography”. Kebebasan yang diusung bukan kebebasan tak berbatas. Tentunya sikap ini muncul dibangun dari tata nilai keluarga, Jhon Locke menjelaskan bahwa peran lingkungan sangat besar untuk menjadikan apa sosok individu tersebut. Ditengah arus tekhnologi ini tantangan sebagai orangtua menjadi bertambah, sikap abai atau cenderung menyalahkan teknologi saja bukan menjadi solusi karena bagaimanapun internet dan teknologi juga memberikan manfaat positif. Keluarga harus mengambil porsi dalam kekuatan mendidik. Dalam teori atribusi sosial (Albert bandura) menjelaskan bahwa ketertarikan individu memahami sesuatu merupakan hasil inspirasi, dipengaruhi, difasilitasi oleh orang lain, terutama orang-orang yang dianggap penting oleh individu, keluarga menyokong peran tersebut. Siapa yang dapat menyangkal bahwa perempuan memegang peran penting dalam pendidikan moral, karena sejatinya Sebagai seorang ibu, perempuan merupakan pengajar dan pendidik yang pertama (R.A. Kartini). [Rendra Agusta]

* Versi cetak dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 28 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar