Beberapa
waktu lalu, jagat media di hebohkan oleh pengakuan Ina “si nononk” yang mengklarifikasi foto
mesra yang diunggah di akun facebooknya adalah perbuatan pembajakan yang
dilakukan oleh mantan kekasihnya. Cerita serupa juga terjadi di magelang, sakit
hati diputus oleh pacarnya secara sepihak, seorang pemuda nekat menggunggah
foto selfie bugil mantan pacarnya tersebut
melalui akun facebook mantan pacarnya. Prilaku balas dendam dengan cara
mengunggah foto pasangan tanpa seizin pasangan ini dikenal dengan istilah “revenge pornography”.
Bak
gunung es, dua cerita diatas adalah puncak yang tampak dari kasus yang ada,
kemungkinan kasus yang tidak terlaporkan lebih banyak lagi. Tidak hanya di Indonesia,
prilaku “Revenge Pornography” ini banyak
menghantui beberapa negara. Seperti halnya di jepang, berdasarkan data yang
dikeluarkan dari survei Ai Research pada
tahun 2015 menjelaskan dari 200 responden yang berusia antara 20-30 tahun,
ternyata 16,5 persen menyatakan bahwa di antaranya pernah difilmkan saat
telanjang dan bermain seks dengan kekasihnya. Lebih mendalam lagi jumlah yang
pernah punya pengalaman difilmkan tersebut, 51,5 persen memberikan penjelasan
mereka tidak dapat berbuat apa – apa karena kekasih sendiri dengan perasaan.
Percaya untuk mereka berdua saja film tersebut, rata – rata korbannya adalah
perempuan.
Problematika
perempuan saat ini bukan dengan keterpasungan sosial ataupun budaya seperti
gelombang awal perjuangan feminisme yang menuntut kesetaraan dalam ruang publik
dengan laki – laki, dimana dulu masih kuatnya “ketergantungan” perempuan
terhadap laki – laki secara ekonomi. Permasalahan perempuan tidak lagi berkutat
pada kehadiran dalam dunia politik, ekonomi atau hukum tetapi permasalahan
perempuan saat ini adalah Perempuan dengan dirinya sendiri.
Sejalan
dengan hal tersebut, Hannah Arendt menjelaskan adanya implikasi terhadap kebebasan yang hadir di masyarakat.
Manusia dituntut untuk melakukan pilihan. Pilihan yang dicerminkan dari
tindakannya. Sebagai manusia yang bebas ada kekuatan diri yang kuat untuk
menolak hal yang dapat mencelakakan dirinya. Lebih jauh, Stanley Milgrain menjelaskan
Banalitas kejahatan terjadi karena kegagalan individu 'berdialog' dengan dirinya
sendiri. Pada fase ini, seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal
berpikir kritis.
Kehadiran
internet menjadikan ruang baru dari matra ruang publik yang dikenal, jika
menggunakan perspektif Gibson (1998), menjelaskan bahwa ruang maya adalah
bentuk “kerangkeng tak berhingga”. Didalam kerangkeng tersebut ada pengembaraan
dalam ruang yang tak berujung. Saat ini berdasarkan data PUSKAKOM UI dan APJII,
menjelaskan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia, lebih dari setengah
pengguna internet di Indonesia berjenis kelamin perempuan, saat ini jumlah
pengguna internet mencapai 88,1 juta. Jika dilihat dari sisi usia, pengguna
internet terbanyak berusia antara 18 hingga 25 tahun. Hasil survey ini
mengatakan ada 49% atau hampir setengahnya. Sedangkan jika dilihat dari jenjang
pendidikan, maka pendidikan SMA sederajat meraih angka tertinggi dengan 64,7% (http://puskakomui.or.id.2015). Dari
data ini keterlibatan perempuan untuk mengetahui informasi dan memanfaatkan
informasi sangat tinggi.
Ketegasan
perempuan dalam mengambil sikap menjadi tameng dalam kasus “revenge pornography”. Kebebasan yang diusung bukan kebebasan tak
berbatas. Tentunya sikap ini muncul dibangun dari tata nilai keluarga, Jhon
Locke menjelaskan bahwa peran lingkungan sangat besar untuk menjadikan apa
sosok individu tersebut. Ditengah arus tekhnologi ini tantangan sebagai
orangtua menjadi bertambah, sikap abai atau cenderung menyalahkan teknologi
saja bukan menjadi solusi karena bagaimanapun internet dan teknologi juga
memberikan manfaat positif. Keluarga harus mengambil porsi dalam kekuatan
mendidik. Dalam teori atribusi sosial (Albert bandura) menjelaskan bahwa
ketertarikan individu memahami sesuatu merupakan hasil inspirasi, dipengaruhi, difasilitasi
oleh orang lain, terutama orang-orang yang dianggap penting oleh individu,
keluarga menyokong peran tersebut. Siapa yang dapat menyangkal bahwa perempuan
memegang peran penting dalam pendidikan moral, karena sejatinya Sebagai seorang ibu, perempuan merupakan
pengajar dan pendidik yang pertama (R.A. Kartini). [Rendra Agusta]
* Versi cetak dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 28 April 2016
0 komentar:
Posting Komentar