Senin, 31 Oktober 2016

Merawat “Taman Siswa”


Tanggal 3 Februari 2016 lalu menjadi peristiwa yang tidak bisa dilupakan Muhammad Samhudi, keinginan mendisiplinkan siswanya yang bolos ketika shalat Duha menjadi bumerang bagi dirinya, Samhudi dimejahijaukan oleh muridnya karena diduga mencubit siswanya, (Jawapos,2016), Kisah serupa juga terjadi pada Bu Maya, Guru Biologi di SMP Negeri 1 Bantaeng dilaporkan orang tua muridnya karena diduga mencubit muridnya ketika mengajar (Tribunnews,2016). Kedua peristiwa tersebut masih bergulir dijalur hukum. “perang” antara guru dan murid ini jika berlarut akan menjadi preseden buruk dalam dunia pendidikan. Jika hal ini terus bergulir maka akan menimbulkan sikap apatis dari guru, tidak mau menegur, tidak mau menegakkan aturan sehingga peran guru sebagai pendidik akan pudar.
Ibarat taman, sekolah sejatinya dihadirkan dalam suasana yang menyenangkan dan saling mendukung, dimana aktivitas mencerdaskan dan menghargai hadir disana. Dalam perspektifnya Ki Hadjar Dewantara  telah mengingatkan bahwa pendidikan yang dihadirkan haruslah melibatkan 3 komponen utama yang dikenal dengan Tri Pusat Pendidikan yaitu Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sekolah dan Lingkungan Masyarakat.

Pintu masuk akan hal tersebut harus hadir dari keluarga, penanaman nilai luhur kehidupan menjadi tanggungjawab anak. Ki Hajar menjelaskan bahwa suasana kehidupan keluarga adalah tempat yang sempurna untuk membentuk karakter anak secara individual maupun secara sosial sehingga hadirnya keluarga melahirkan pribadi yang utuh. Sejalan dengan pandangan tersebut menurut William Bennett menjelaskan bahwa tempat pertama anak untuk mendapatkan penanaman nilai-nilai karakter adalah keluarga, apabila proses internalisasi nilai – nilai karakter ini gagal diberikan keluarga maka akan sulit bagi institusi-institusi di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Oleh karena itu setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak dirumah.
Pendidikan saat ini digunakan sebagai jalan pembangunan masyarakat, sekolah menjadi alat utama dalam proses tersebut dan guru menjadi pengawal cita – cita tersebut, sekolah yang dibangun atas dasar kemanusiaan dihadirkan oleh guru yang mampu memberikan pendidikan pada muridnya. Dalam hal tersebut, Ki Hajar menghadirkan guru dalam tradisi among, ciri khas dari sistem ini dengan penguatan bahwa mendidik adalah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong anak-anak tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem among ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Guru dalam hal ini disebut Pamong. Dalam hal ini guru tidak hanya pemberi pengetahuan tetapi guru memiliki peran meletakkan nilai luhur kehidupan sehingga murid dapat mempersiapkan diri dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perspektif Ki Hajar Dewantara, guru adalah abdi sang anak, abdi murid bukan penguasa atas jiwa anak – anak (sudarto, 2008). Hubungan yang dihadirkan adalah jalinan kasih sayang antara guru dan murid, saling percaya bukan tindakan otoriter ataupun memanjakan.
            Sengkarut antara guru dan murid ini tidaklah akan selesai jika lingkungan tidak dihadirkan dalam permasalahan ini, lingkungan memberi andil besar dalam proses pendidikan murid. Konsep pendidikan masyarakat dihadirkan untuk mempersiapkan dan menjadikan murid masyarakat yang berbudi luhur dan berbudaya. Saat ini, lingkungan belum bisa memberikan kepastian terhadap hal tersebut, wajah lingkungan belum hadir ramah terhadap anak, apalagi media dimasyarakat jauh dari nilai tauladan. Konsumerisme masyarakat lebih dari menggerus nilai budaya itu sendiri.
          Wacana pemerintah hadir untuk penyelesaian masalah ini dengan menerbitkan pedoman teknik mendisiplinkan siswa tanpa menggunakan kekerasan tidaklah cukup. Inti penting permasalahan ini adalah bagaimana dapat memberikan kehadiran tri pusat pendidikan tersebut dapat optimal. Semangat pendidikan harus hadir dalam wajah baru. Nyala pelita pendidikan, tidak bisa hanya dihadirkan dalam ruang kelas, pelita tersebut menjadi tugas besar keluarga, sekolah dan masyarakat untuk menghadirkannya. Hal ini menjadi daya dukung yang besar karena pendidikan bukan persiapan untuk hidup tapi pendidikan adalah hidup itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar