Kamis, 26 Januari 2017

Postpartum Depression dan Raos Bojo



Gelayut duka merundung ruang publik kita, Mutmainah (Iin), 28, tega memutilasi Arjuna, putranya yang masih berusia satu tahun. Sontak publik kaget apa sebenarnya yang terjadi? Sosok yang dikenal penyayang dan suka bergaul dengan tetangga tiba – tiba berubah menjadi sosok yang kejam dan tega terhadap anaknya sendiri. Tersangka diduga depresi ketika melakukan hal tersebut. Iin dikenal sebagai seorang pendiam, berbicara seperlunya. Menurut suami, perubahan terjadi dalam seminggu ini, Iin sering bicara sendiri dan lebih banyak diam.
Bak gunung es, cerita diatas menjadi bagian kecil puncak yang dapat dilihat. Dalam perspektif Dr Deborah Serani, Psikolog Adelphi University menjelaskan Perempuan lebih rentan mengalami gangguan jiwa ringan dibandingkan dengan laki-laki. Kerentanan tersebut antara lain disebabkan oleh faktor biologis dan budaya,  berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 menyebutkan, prevalensi penduduk berusia lebih dari 15 tahun yang mengalami gangguan mental emosional ringan pada perempuan 16 persen dan pada laki-laki 9 persen.

Konstruksi masyarakat saat ini tidak memberikan dukungan bagi perempuan, misalnya masih banyaknya anggapan yang menyalahkan perempuan menjadi satu pihak yang paling harus bertanggungjawab untuk beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, perempuan yang memiliki karier diluar rumah akan memiliki beban tanggungjawab yang lebih. Ujungnya akan menyebabkan depresi. Abainya masyarakat (keluarga) melihat fenomena ini menyebabkan hal kronik, akhirnya terlambat melakukan penanganan sehingga beban penyakit (burden of disease) jiwa di negeri ini masih cukup besar.
Rumah bukanlah ruang kosong yang dihadirkan dalam kultur masyarakat, fungsi rumah hendaknya hadir sebagai pusat kesehatan mental pertama. Penguatan anggota keluarga didalamnya dapat menjadi garda terdepan pembangunan mental yang sehat dalam hal ini berarti keluarga harus mengambil peran dalam menjaga kesehatan jiwa anggota keluarganya dan menjadi pihak yang memberikan pertolongan pertama psikologis apabila tampak gejala-gejala yang mengarah pada masalah kesehatan jiwa.
Memaknai keluarga tidak hanya dalam konteks status sosiologis, makna keluarga dalam bahasa aslinya “kulawarga” terbentuk dari dua unsur kata kula dan warga yang berarti “anggota” atau “kelompok kerabat” maka makna keluarga diartikan sebagai kesatuan sosial terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Sejalan dengan perspektif tersebut Rog & Baber (1983) menambahkan fungsi keluarga meliputi fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial, fungsi rekreasi, dan memberi rasa aman. Idealnya semua fungsi dapat terpenuhi dan berjalan.
Kebutuhan berkeluarga dihadirkan dalam rangka saling melengkapi dan bersepakat terkait peran dan fungsi dari masing – masing pihak, dibentuk dalam pengukuhan dan perubahan dimensi. Perspektif yang dibangun oleh Ki Ageng Suryomentaram ini menghadirkan sebuah hubungan keluarga Raos Bojo, rasa ini harus tumbuh bersama, akan subur jika dirawat dan dipelihara. Raos Bojo akan melahirkan rasa keterusterangan antara pasangan (tidak saling menutupi), hubungan yang saling melengkapi dan mendukung satu sama lainnya (Ryan Sugiarto,2015).
Berangkat dari paradigma tersebut, harmonisasi keluarga menjadi bagian penting dalam merawat kesehatan mental tersebut. Saat ini, terjadi secara masif gerusan fungsi keluarga. Dalam era yang serba cepat, komunikasi tatap muka yang tergantikan dengan layananan pesan maupun suara, hadirnya fisik berkumpul yang tergantikan teknologi membuat berbagi menjadi hal yang sangat minim sehingga menyebabkan langkanya nilai bahagia pada saat ini, padahal bahagia menjadi modal utama dalam membangun kesehatan jiwa pribadi dan lingkungan.
Pembangunan mental keluarga ini menjadi penting, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2015 merilis rendahnya Indeks Ketahanan Keluarga di Indonesia yakni 3,8 dari interval penilain 1 (satu) sampai dengan 5 (lima).  Ketahanan keluarga menjadi bagian sangat penting karena mengingat sejatinya keluarga merupakan entitas unit terkecil masyarakat sehingga masalah keluarga akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan dimaknai lebih luas akan berdampak pada kehidupan bernegara.
Ditambahkan Ki Ageng Suryomentaram, nilai bahagia dapat dibentuk oleh masyarakat, ada dua perspektif yang dibangun yaitu bagaimana secara personal orang mampu menjadi bahagia dalam kondisi apapun sedangkan jika dalam konteks masyarakat, bagaimana orang – orang yang ada di dalam satu kelompok juga dapat hidup dalam kebahagiaan. Artinya, kelompok tersebut adalah kumpulan orang-orang yang berbahagia yang selanjutnya terwujudnya windu kencana.
Sampai disini, Konsep Windu kencana dihadirkan dalam terminologi yang dibangun sebagai sebuah zaman di mana orang-orang secara bersama-sama merasakan bahagia, tenteram, dan damai. Kesadaran tersebut muncul dari proses pembangunan mental masyarakat yang bahagia. Interaksi orang yang ada didalamnya memiliki rasa yang sama, rasa persatuan dihadirkan dari rasa saling bersatu dan rasa untuk saling memahami.
Kesehatan mental bukan hanya milik perseorangan, tidak akan bertumbuh menjadi optimal tanpa bantuan pihak lain. Hadirnya keluarga dapat menjadi filter untuk melihat bagaimana anggota keluarga menyikapi realitas lingkungan. Dukungan orang terdekat hadir dalam upaya memberikan motivasi. Membentuk rasa persatuan dalam lingkaran kekerabatan menjadi nilai kearifan lokal yang lama ditinggalkan masyarakat modern. Dalam pandangan Maxim Gorky, Kebahagiaan selalu tampak kecil ketika kamu menggenggamnya ditanganmu, tapi lepaskanlah, dan kamu akan belajar betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu. Selamat Hari Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar