Gelayut
duka merundung ruang publik kita, Mutmainah (Iin), 28, tega memutilasi Arjuna,
putranya yang masih berusia satu tahun. Sontak publik kaget apa sebenarnya yang
terjadi? Sosok yang dikenal penyayang dan suka bergaul dengan tetangga tiba –
tiba berubah menjadi sosok yang kejam dan tega terhadap anaknya sendiri.
Tersangka diduga depresi ketika melakukan hal tersebut. Iin dikenal sebagai
seorang pendiam, berbicara seperlunya. Menurut suami, perubahan terjadi dalam
seminggu ini, Iin sering bicara sendiri dan lebih banyak diam.
Bak
gunung es, cerita diatas menjadi bagian kecil puncak yang dapat dilihat. Dalam
perspektif Dr Deborah Serani, Psikolog Adelphi
University menjelaskan Perempuan lebih rentan mengalami gangguan jiwa
ringan dibandingkan dengan laki-laki. Kerentanan tersebut antara lain
disebabkan oleh faktor biologis dan budaya,
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 menyebutkan,
prevalensi penduduk berusia lebih dari 15 tahun yang mengalami gangguan mental
emosional ringan pada perempuan 16 persen dan pada laki-laki 9 persen.
Konstruksi masyarakat saat ini tidak memberikan dukungan bagi perempuan, misalnya masih banyaknya anggapan yang menyalahkan perempuan menjadi satu pihak yang paling harus bertanggungjawab untuk beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, perempuan yang memiliki karier diluar rumah akan memiliki beban tanggungjawab yang lebih. Ujungnya akan menyebabkan depresi. Abainya masyarakat (keluarga) melihat fenomena ini menyebabkan hal kronik, akhirnya terlambat melakukan penanganan sehingga beban penyakit (burden of disease) jiwa di negeri ini masih cukup besar.
Rumah
bukanlah ruang kosong yang dihadirkan dalam kultur masyarakat, fungsi rumah
hendaknya hadir sebagai pusat kesehatan mental pertama. Penguatan anggota
keluarga didalamnya dapat menjadi garda terdepan pembangunan mental yang sehat
dalam hal ini berarti keluarga harus mengambil peran dalam menjaga kesehatan
jiwa anggota keluarganya dan menjadi pihak yang memberikan pertolongan pertama
psikologis apabila tampak gejala-gejala yang mengarah pada masalah kesehatan
jiwa.
Memaknai
keluarga tidak hanya dalam konteks status sosiologis, makna keluarga dalam
bahasa aslinya “kulawarga” terbentuk
dari dua unsur kata kula dan warga yang berarti “anggota” atau
“kelompok kerabat” maka makna keluarga diartikan sebagai kesatuan sosial
terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa yang berlainan jenis kelamin, wanita dan
pria serta anak-anak yang mereka lahirkan. Sejalan dengan perspektif tersebut
Rog & Baber (1983) menambahkan fungsi keluarga meliputi fungsi biologis,
fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi agama, fungsi sosial, fungsi
rekreasi, dan memberi rasa aman. Idealnya semua fungsi dapat terpenuhi dan
berjalan.
Kebutuhan
berkeluarga dihadirkan dalam rangka saling melengkapi dan bersepakat terkait
peran dan fungsi dari masing – masing pihak, dibentuk dalam pengukuhan dan
perubahan dimensi. Perspektif yang dibangun oleh Ki Ageng Suryomentaram ini
menghadirkan sebuah hubungan keluarga Raos
Bojo, rasa ini harus tumbuh bersama, akan subur jika dirawat dan
dipelihara. Raos Bojo akan melahirkan
rasa keterusterangan antara pasangan (tidak saling menutupi), hubungan yang
saling melengkapi dan mendukung satu sama lainnya (Ryan Sugiarto,2015).
Berangkat
dari paradigma tersebut, harmonisasi keluarga menjadi bagian penting dalam
merawat kesehatan mental tersebut. Saat ini, terjadi secara masif gerusan
fungsi keluarga. Dalam era yang serba cepat, komunikasi tatap muka yang
tergantikan dengan layananan pesan maupun suara, hadirnya fisik berkumpul yang
tergantikan teknologi membuat berbagi menjadi hal yang sangat minim sehingga
menyebabkan langkanya nilai bahagia pada saat ini, padahal bahagia menjadi
modal utama dalam membangun kesehatan jiwa pribadi dan lingkungan.
Pembangunan
mental keluarga ini menjadi penting, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada
tahun 2015 merilis rendahnya Indeks Ketahanan Keluarga di Indonesia yakni 3,8
dari interval penilain 1 (satu) sampai dengan 5 (lima). Ketahanan keluarga menjadi bagian sangat penting
karena mengingat sejatinya keluarga merupakan entitas unit terkecil masyarakat
sehingga masalah keluarga akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan dimaknai
lebih luas akan berdampak pada kehidupan bernegara.
Ditambahkan
Ki Ageng Suryomentaram, nilai bahagia dapat dibentuk oleh masyarakat, ada dua
perspektif yang dibangun yaitu bagaimana secara personal orang mampu menjadi
bahagia dalam kondisi apapun sedangkan jika dalam konteks masyarakat, bagaimana
orang – orang yang ada di dalam satu kelompok juga dapat hidup dalam
kebahagiaan. Artinya, kelompok tersebut adalah kumpulan orang-orang yang
berbahagia yang selanjutnya terwujudnya windu kencana.
Sampai
disini, Konsep Windu kencana dihadirkan dalam terminologi yang dibangun sebagai
sebuah zaman di mana orang-orang secara bersama-sama merasakan bahagia,
tenteram, dan damai. Kesadaran tersebut muncul dari proses pembangunan mental masyarakat
yang bahagia. Interaksi orang yang ada didalamnya memiliki rasa yang sama, rasa
persatuan dihadirkan dari rasa saling bersatu dan rasa untuk saling memahami.
Kesehatan
mental bukan hanya milik perseorangan, tidak akan bertumbuh menjadi optimal
tanpa bantuan pihak lain. Hadirnya keluarga dapat menjadi filter untuk melihat
bagaimana anggota keluarga menyikapi realitas lingkungan. Dukungan orang
terdekat hadir dalam upaya memberikan motivasi. Membentuk rasa persatuan dalam
lingkaran kekerabatan menjadi nilai kearifan lokal yang lama ditinggalkan
masyarakat modern. Dalam pandangan Maxim Gorky, Kebahagiaan selalu tampak kecil
ketika kamu menggenggamnya ditanganmu, tapi lepaskanlah, dan kamu akan belajar
betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu. Selamat Hari Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar